Selasa, 19 April 2011

Wireless Hunter

      Pada suatu pagi yang sama sekali tak cerah aku menenteng laptop putih Benga ke trotoar depan rektorat. Bukan tanpa alasan membawanya. Pagi itu aku hendak mencari bahan untuk tugas kuliah. Fasilitas wifi yang kampusku punya cukup memudahkan kami memeroleh layanan internet gratis. Paling tidak tak perlu merogoh kocek kami untuk ke warnet.
      Setelah laptop kunyalakan dan menyambungkannya pada wireless segera kuklik mozila yang ada pada desktop. Karena niatku sebenarnya adalah bermain facebook sekalian cari tugas makanya tab pertama yang kubuka adalah facebook. Setelah memasukkan alamat email dan passwordku, barulah waktunya menyapa om google yang selalu ada membantu penyelesaian tugas-tugasku.
      Sekitar setengah jam lebih bergaul di dunia maya baterai meter laptop berubah warna menjadi merah. Karena di trotoar tak ada sambungan listik akhirnya dengan hati yang sangat berat aku harus melogout akun facebookku. Baru saja laptop kututup seorang lelaki berjaket hitam dengan kaca matanya menghampiriku. Dari jarak yang dekat baru dengan jelas terlihat jajaran behel pada giginya. Dia juga membawa serta sebuah handycam.
      “Dek, lagi buka facebook yah?” tanpa sungkan dia bertanya.
      “Tidak.” Aku hanya menjawab singkat.
      “Terus tadi ngapain?”
“Ooo, kalo tadi memang maen FB kak, tapi kan sekarang laptopnya sudah saya matikan.”
“Bisa dinyalain lagi dek? Terus buka FB sebentar. Cuma untuk berita kok dek.” Wartawan itu setengah memohon.
“Yah, laptopnya lowbat kakak. Gimana dong? Cari meki yang lain saja.”
“Aduh dek,dari tadi saya kelilingi ini kampus untuk cari tiga orang pengguna FB. Sudah ada dua orang saya wawancarai nah tinggal satu lagi trus kau ji yang saya dapat.”
“Kalau sore di sini banyak yang OL, jangan datang di jam kuliah nassami sepi. Untungnya ada ji orang suka bolos kayak saya.”
“Buka mi paeng FBmu dek.” Dia menghadiahiku sebuah senyuman yang memperlihatkan sebagian behelnya.

      Laptop kembali kunyalakan dan tak lama halaman FB pun terbuka. Ternyata tak hanya merekam tampilan FBku tapi ada sesi wawancaranya juga. Jadilah lidahku berlogat. Lumayan bisa masuk TV local cuy.
      Wartawan        : “Apa sih gunanya FB buat kamu?”
Cadel                : “FB sih berguna banget buat aku. Selain bisa dapet teman baru juga bisa menjaga silaturahmi dengan keluarga dan sahabat yang berada di luar kota.”
Wartawan        : “Sudah berapa lama pakai FB?”
Cadel                : “Sudah lumayan lama juga sih. Gak inget kapan bikinnya”
Wartawan        : “Biasanya kalo buka FB ngapain aja?”
Cadel                : “Kalau saya sih gak banyak kak. Palingan update status, komen-komen kalo enggak wall-wallan aja ma temen. Tapi kalau temen-temen saya yang cowok sih bikin FB untuk maen game.”
Wartawan        :“Game apa?”
Cadel                : “Gak jelas juga sih mereka pada maen game apa. Katanya sih banyak, Cuma yang paling sering dimaini semua temanku sih RL, Rock Legend.”

      Hanya dengan empat pertanyaan lidahku sudah terlipat karena logat. Kembali laptop kumatikan dan kumasukkan ke tas. Aku pun bangkit dan bersiap menuju fakultas. Si wartawan tadi masih berdiri di trotoar.
      “Thank you yo man..” katanya.
Aku hanya diam masam. Seperti sangat mengenal salam tadi.
“Add saya yah.” Dia memerlihatkan nama di seragamnya yang tersembunyi di balik jaket yang ia kenakan.
“Iya.”
“Salam merah kuning hijau sistah..” dia pun melangkah pergi.
Aku melongo sendiri. Kata-kata tadi selalu terdengar dari mulut Benga. Mungkin dia kira aku pecinta Reggae juga. Lama baru aku sadari penyebabnya. Pasti dia melihat stiker berbentuk daun ganja yang tertempel di laptop.
      Petang menjelang dan kami pun kembali ke RR dengan pete-pete. Setelah berhenti di persimpangan dan berjalan beberapa puluh meter, barulah kami tiba di depan rumah. Gerbang telah terbuka dan tampak dua motor bebek terparkir di halaman. Rupanya Oq, Uun dan Dotja telah tiba duluan.
      Aku berganti pakaian dan tak mungkin mandi mengingat air di bak tinggal keraknya saja. Azan maghrib mulai berkumandang dan kami tak menghiraukannya sama sekali. Kami tetap saja berguyon seenak hati, hanya suara tawa yang dikecilkan. Setelah terlihat beberapa lelaki paruh baya melewati RR dengan mengenakan baju koko dan sarung lengkap dengan peci di kepala barulah kami bisa kembali bebas tertawa dengan suara yang tak tertahan.
Waktu menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Tak lama berselang bunyi sebuah motor terdengar mendekati RR. Motor terparkir dan suara gerbang terdengar disertai suara langkah yang kian jelas. Dan bisa ditebak apa yang selanjutnya terjadi. Seseorang mengetuk pintu dan suara cempreng pun akan terdengar.
“Assalamu alaikum..” suara dari luar.
      “Masuk mako..” jawab kami nyaris serempak.
Pintu terbuka dan muncul sesosok manusia di baliknya. Postur cukup tinggi dibalut baju kaos dan celana pendek selutut yang memerkan hutan lebat pada betisnya. Kepalanya masih mengenakan helm biru yang sangat tidak enak dipandang. Dia Dede, seorang kawan yang belum sempat kukenalkan. Seangkatan juga dengan kami. Dia tinggal bersama kakak dan Ibunya, tak jauh dari RR.
Ardhyanta Tajuddin Sampetoding nama lengkapnya. Dengan darah Toraja yang kental mengalir di tubuhnya membuatnya mirip tedong bonga (apa anda percaya?). Dan kalimat yang akan dia lontarkan setelah salam adalah,
      “Mana Dotja?”
Tiga kali seminggu sekitar pukul tujuh malam dia selalu menjemput Dotja untuk bermain Parkour di lapangan Hasanuddin. Karena latihannya mulai pukul sembilan dan tempat latihan sangat jauh, makanya mereka selalu berangkat cepat. Apalagi kendaraan plat merahnya melaju sangat kencang.
      Dasar Dotja yang jail, selalu saja lambat bergerak. Main game dulu lah. Mandi lah. Pokoknya ada segudang alasan untuk membuat Dede menunggu dan jengkel. Entah berapa kali kata ‘ayo mi’terdengar, barulah mereka berangkat.
Sepeninggal mereka kini giliran kelelawar RR yang bersiap pergi. Tujuannya satu. Kampus. Sebelum jalan tentu saja ada acara hom pim pa dulu. Siapa yang punya alasan paling keren dialah yang berhak membawa laptop Benga. Biasanya yang paling jago adalah Uun. Bersama Oq, dia lalu mempersiapkan segala keperluan tugas malamnya. Semuanya dimasukkan ke dalam rangsel. Laptop beserta charger lengkap dengan colokan listrik dia masukkan. Tak lupa dua sachet soffel jeruk dan sebungkus rokok yang hanya berisi beberapa batang juga dibawa.
Dengan mantap meninggalkan rumah untuk dinas. Bukan untuk bekerja. Tapi menelusuri seluruh pelosok kampus untuk menemukan sebatang signal wireless. Tujuannya jelas yakni bermain game yang tersedia di facebook. Mereka lah kawan yang kumaksud dalam wawancara pagi tadi. Para pemain Rock Legend.
Tiap malam seperti itu. Meninggalkanku dan Benga yang selalu kebagian tugas jaga rumah. Untunglah Idunk dan pacarnya Ria sering mampir. Dengan niat tulus berjuang dalam bettle demi menaikkan level permainan Rock Legend.
Rock Legend adalah suatu permainan yang tersedia dalam facebook. Sejenis permainan band dimana kamu harus memilih satu posisi dalam sebuah grup band. Entah itu vokalis, gitaris, basist, keyboardist, atau drummer. Hanya itu, tak ada soundman maupun kabelist. Seorang pemain harus tergabung dalam band dan terus battle dengan band lain untuk menaikkan level. Pemain bisa keluar dari band dan dikontrak oleh band lain. Kurang lebih seperti itu sistem permainannya. Aku sendiri tak tahu jelas.
Karena game inilah mereka berprofesi sebagai Wireless Hunter.

Rabu, 09 Maret 2011

Bermain domino

      Setelah kejadian mistis yang dialaminya pada suatu malam, Oq tak lagi berani menginap di RR seorang diri. Dia menghabiskan beberapa malamnya menmbuat spanduk di kampus. Hingga akhirnya pada suatu pagi dia dan beberapa kawan memergoki Fitri bersama seorang cowok, sejak itu Oq kembali rutin tidur di RR dan tentu saja tak seorang diri lagi.
      RR tak lagi sepi sejak malam itu. Kalau tak salah mereka berempat, Oq,Ical, Dotja dan yang satunya aku lupa. Satu kebiasaan kampus yang mereka bawa ke RR adalah bermain domino. Malam itu salah seorang di antara mereka membawa kartu remi dari kampus. Bagi kawan-kawanku, dalam melakukan sesuatu tanpa ribut merupakan suatu hal yang sangat mustahil. Jadilah malam itu dilewati dengan bermain domino disertai guyonan tawa mereka yang ribut. Segala hal bisa dijadikan bahan tertawaan buat mereka.
      Lewat tengah malam mereka terus bermain di ruang depan. Saat keasyikan bermain terdengar suara pintu belakang digedor seseorang. Mereka sejenak diam dan menoleh ke pintu belakang. Tak menunggu waktu lama mereka pun kembali melanjutkan permainan. Yang ada di kepala mereka adalah seorang tetangga terganggu dengan ulah mereka dan melempari pintu belakang. Meski yang terdengar adalah kepalan tangan yang memukul-mukul pintu, mereka memaksakan diri untuk menganggapnya lemparan.
      Permainan mereka sama sekali tak diusik oleh suara tadi. Mereka terus bermain dengan tawa yang membahana. Beberapa saat berlalu gedoran di pintu kembali terdengar bahkan jauh lebih keras dan terdengar sangat kasar. Sontak mereka membisu dan saling pandang untuk beberapa saat. Akal mereka berputar memikirkan segala kemungkinan. RR diapit tiga rumah dengan tembok-tembok yang tinggi tak mungkin pula ada yang bisa melempari pintu dengan tepat. Pagar depan pun telah tergembok jadi tak mungkin seseorang memasuki halaman tanpa diketahui. Kalau pun ada kenapa juga pintu belakang yang digedor, bukan pintu depan yang lebih dekat. Tanpa satu pun aba-aba yag terucap kartu domino yang masih berada di tangan mereka letakkan perlahan pada lantai dan masing-masing mengambil posisi tidur yang manis. Suatu jurus andalan ketika berhadapan dengan hal yang tak masuk akal. Karena digerogoti sedikit rasa takut, mereka memperebutkan selimut yang tak cukup menutupi tubuh keempatnya. Dan terjadilah adegan tarik menarik selimut dari ujung satu ke ujung lainnya hingga akhirnya mereka benar-benar tertidur pulas. Keesokannya mereka bangun masih dengan rasa penasaran dan kembali menertawakan kekonyolan dirinya masing-masing.